Tiga Bisnis Nontiket MRT Jakarta
MRT Jakarta merupakan satu-satunya sistem transportasi publik perkeretaapian perkotaan (metro railways) bawah tanah di Indonesia saat ini. Meski demikian, MRT Jakarta memiliki mandat lain selain membangun dan mengoperasikan layanannya tersebut, yaitu mengembangkan dan mengelola properti/bisnis di stasiun dan sekitarnya, serta depo dan kawasan sekitarnya. Mandat ini tercantum di dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perseroan Terbatas (PT) MRT Jakarta. Mengapa MRT Jakarta perlu mengembangkan bisnis lain (selain membangun dan mengoperasikan sarana dan prasarana perkeretaapian)? Apa saja yang termasuk di dalam pengembangan bisnis lain tersebut? Bagaimana MRT Jakarta bertahan pada masa pandemi? Berikut hasil wawancara dengan Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta (Perseroda) Farchad H. Mahfud.
PT MRT Jakarta (Perseroda) adalah perusahaan transportasi publik. Mengapa perlu mengembangkan bisnis lain di luar itu?
Sebagai perusahaan transportasi publik, PT MRT Jakarta (Perseroda) dituntut untuk memberikan pelayanan transportasi yang baik dan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Ini wajib diberikan karena ada peraturannya, yaitu Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 95 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang dengan Moda Raya Terpadu/Mass Rapid Transit dan Lintas Raya Terpadu/Light Rail Transit. Nah, untuk memenuhi hal tersebut, tidak cukup apabila hanya mengandalkan hasil penjualan tiket (farebox) karena kebijakan daya beli pengguna juga perlu menjadi perhatian. Oleh karena itu, diperlukan sumber pendapatan lain, atau kalau dalam istilah MRT Jakarta, pendapatan nontiket (non-farebox). Itu inti dari pengembangan bisnis. Sederhananya, PT MRT Jakarta (Perseroda) perlu mengembangkan bisnis lain selain penjualan tiket perjalanan agar dapat memenuhi kebutuhan dan tantangan perusahaan yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Apa saja cakupan dari bisnis lain tersebut?
Ada tiga cakupan utama bisnis MRT Jakarta, yaitu:
- Commercial and retail. Ini meliputi pengelolaan usaha di dalam dan sekitar stasiun seperti layanan infrastruktur telekomunikasi, periklanan, pemanfaatan ruang usaha untuk gerai retail, UMKM, perbankan, vending machine dan lain-lain yang membutuhkan ruang. Sedangkan untuk di sekitar stasiun seperti area transit dengan transportasi publik lain atau pelaksanaan kegiatan (event) di sekitar stasiun serta mengoptimalkan aset sarana, prasarana, dan kewenangan yang dimiliki oleh PT MRT Jakarta (Perseroda) misalnya beberapa minggu lalu kita publikasikan membuka kesempatan bekerja sama pengelolaan prasarana cooling tower and ventilation tower stasiun bawah tanah (CTVT) sebagai media periklanan.
- Transit Oriented Development atau kawasan berorientasi transit. Ini menarik karena TOD ini merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit manusia, kegiatan, bangunan mix-use, ruang publik dan terbuka hijau dengan tujuan mengoptimalkan akses masyarakat kepada transportasi publik sehingga menunjang daya angkutnya. Masyarakat mendapatkan kenyamanan bermobilitas interkoneksi antarmoda. Bagi PT MRT Jakarta (Perseroda), kawasan ini dapat dikelola sebagai bisnis jangka pendek, menengah dan panjang. Sejauh ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta telah menunjuk PT MRT Jakarta (Perseroda) sebagai pengelola lima kawasan TOD, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Blok M—Sisingamangaraja, Istora, dan Dukuh Atas. PT MRT Jakarta (Perseroda) telah membentuk anak usaha untuk mengelola kawasan tersebut, yaitu PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) dan PT Integrasi Transit Jakarta (ITJ). Kedua anak usaha ini nantinya akan mengelola estate management dan pembangunan sarana prasarana publik misalnya akses antara stasiun MRT Jakarta dan gedung-gedung di sekitarnya, kegiatan komersial di ruang publik radius hingga 700 meter dari stasiun MRT Jakarta, hingga pembangunan ruang usaha dan hunian terjangkau, yang tujuannya untuk perbaikan livelihood masyarakat dan keterangkutan (ridership). Realisasi bisnis TOD ini memang relatif bersifat jangka menengah dan panjang. Meski demikian, PT MRT Jakarta (Perseroda) memiliki proyek jangka pendek di kawasan tersebut sehingga manfaatnya dapat segera dirasakan oleh masyarakat, seperti yang terlihat di area Dukuh Atas saat ini. PT MRT Jakarta (Perseroda) sangat mendukung kolaborasi dan kerja bersama baik antardivisi di PT MRT Jakarta (Perseroda) dan anak usahanya maupun dengan badan usaha milik daerah dan negara lainnya, termasuk pihak swasta. Intinya, dengan berbisnis TOD ini, PT MRT Jakarta (Perseroda) hadir dan berkontribusi terhadap hadirnya ruang publik baru yang lebih nyaman bagi masyarakat pengguna MRT Jakarta dan lebih banyak ruang terbuka hijau.
- Business expansion. Di sini, kita berbicara inovasi bisnis masa depan terkait penugasan terhadap PT MRT Jakarta (Perseroda), new business yang berpotensi meningkatkan revenue dan yang mendukung cost efficiency. Cakupannya antara lain bisnis digital yang memang sedang booming melalui aplikasi ponsel MRT Jakarta dan program MRTJ ACCEL dan Incubator, pemanfaatan renewables electricity, transportasi-layanan kesehatan, transportasi-logistik, dan layanan first and last mile bersama operator transportasi publik lainnya. Lebih jauh lagi, business expansion ini akan masuk ke area TOD bersama dengan anak usaha PT MRT Jakarta (Perseroda). Business expansion ini merupakan pengembangan bisnis baru terhadap kebijakan PT MRT Jakarta (Perseroda) yang mendorong optimalisasi pendapatan dan efisiensi biaya (cost efficiency and optimization).
Bagaimana perbandingan pendapatan antara bisnis tiket (farebox) dan nontiket (non-farebox)?
Saat ini, belum bisa kita prediksi angka equilibriumnya karena pada tahun pertama MRT Jakarta beroperasi, aspek nontiket belum sepenuhnya dimanfaatkan, apalagi satu tahun setelah beroperasi, pandemi melanda dunia dan berdampak terhadap MRT Jakarta. Pada 2019, rasionya ~1. 2020, sempat berada di ~7 namun turun akibat pandemi. Meski demikian, saat ini rasionya mulai beranjak menjadi di kisaran ~6 pada Maret 2021 lalu sebagai dampak meningkatnya angka keterangkutan (ridership) dan ke depan, kami akan berusaha menjaga di rasio ~4.
Pandemi membuat sektor transportasi berada di titik nadirnya. Jumlah keterangkutan MRT Jakarta terjun bebas. Bagaimana pengaruhnya terhadap bisnis MRT Jakarta? Apa yang dilakukan oleh perusahaan?
Kalau melihat pendapatan nontiket pada 2020 lalu, alhamdulillah target tercapai. (catatan: pendapatan non-farebox PT MRT Jakarta (Perseoda) pada 2020 mencapai Rp370 miliar yang berasal dari iklan, telekomunikasi, penamaan stasiun, payment gateway, dan retail). Meski demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa gerai-gerai UMKM dan merchant yang ada di stasiun belum beroperasi optimal. Namun, saat ini masih banyak pihak yang berminat untuk dapat bekerja sama dengan PT MRT Jakarta (Perseroda) meskipun masih masa pandemi. Hal tersebut mungkin terjadi karena sikap optimistis para pelaku usaha bahwa pandemi tidak akan berlangsung lebih lama dan sekarang ialah saat yang tepat untuk memulainya. Contohnya untuk sektor bisnis retail dan digital, sekarang ini sedang booming karena karakter interaksi contactless-nya.
PT MRT Jakarta (Perseroda) menyikapi kondisi ini dengan kerja keras, kerja cermat, dan efisien serta saling mendukung antara perusahaan dengan setiap mitra kerjanya. PT MRT Jakarta (Perseroda) bahkan masih tetap memberikan dukungan kepada UMKM yang ada di stasiun. Lebih jauh lagi, kita mulai melakukan pemetaan dan kajian mendalam terhadap ruang-ruang di stasiun dan sekitarnya untuk meningkatkan utilisasi aset untuk pendapatan nontiket pada masa depan yang jumlahnya masih sangat banyak. Kami juga terus menggali potensi model bisnis baru.
Apa harapan MRT Jakarta pada masa depan terkait kondisi pandemi sekarang ini?
Tentunya kami sangat berharap agar kita semua bisa segera melewati pandemi ini dengan baik dan kondisi usaha kita bisa segera kembali ke situasi seperti sebelum pandemi. Syukur alhamdulillah trennya menunjukkan ke arah tersebut. Ke depannya, pengalaman dan tindakan yang kita lakukan selama pandemi ini harus terus kita lanjutkan, yaitu tetap menyediakan layanan terbaik dan seefisien mungkin kepada masyarakat. Dalam konteks pengembangan bisnis, ke depannya kita harus selalu mempertimbangkan kondisi seperti pandemi ini dalam setiap kalkulasi pengembangan bisnis MRT Jakarta, misalnya bisnis digital, logistik, dan kesehatan (healthcare) patut menjadi perhatian. Optimalisasi aset sarana dan prasarana juga harus terus ditingkatkan, memaksimalkan potensi pendapatan nontiket dari kawasan kawasan TOD, serta memunculkan inovasi bisnis baru dalam pengelolaan aset. Semua ini diperlukan demi menjawab tuntutan pelayanan transportasi publik MRT dalam jangka panjang. Terakhir, kerja kolaborasi dengan berbagai pihak mutlak dilaksanakan agar MRT Jakarta dapat fokus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Penulis: Nasrullah.